Profil Pemain Legendaris Rivaldo

Rivaldo Vitor Borba Ferreira (lahir 19 April 1972; umur 46 tahun) merupakan seorang pemain sepak bola berkebangsaan Brasil yang kini bermain untuk klub FC Bunyodkor. Dia pernah membela klub utamanya seperti Santa Cruz, Mogi Mirim, Corinthians, Palmeiras, Deportivo La Coruña, Barcelona, Milan, Cruzeiro, Olympiacos,dan AEK Athens.


Konon, banyak anak yang tidak beruntung yang lahir dan tumbuh besar di Recife, Brasil. Daerah tersebut adalah salah satu daerah miskin di Brasil karena dipenuhi oleh orang-orang miskin. Penyebabnya sederhana: para orang tua di Recife sering kali terlalu sibuk untuk menyiasati kehidupan. Hal ini kemudian membuat anak-anak mereka terabaikan. Mereka tak terdidik. Daripada bersekolah, anak-anak itu kemudian memilih untuk mengendus lem di pinggir jalan, menjadi pencopet, atau bergelut dengan prostitusi. Situasi ini kemudian terus berlanjut, dari satu generasi ke generasi lainnya. Roda kemiskinan di Recife terus berputar dengan cara semacam itu.

Rivaldo
Rivaldo.jpg
Informasi pribadi
Nama lengkapVítor Borba Ferreira
Tanggal lahir19 April 1972 (umur 46)
Tempat lahirPaulistaBrasil
Tinggi186 m (610 ft 3 in)
Posisi bermainGelandang
Informasi klub
Klub saat iniBunyodkor
Nomor10
Karier senior
TahunTimTampil(Gol)
1991–1992Santa Cruz0(0)
1992–1993Mogi Mirim30(10)
1993–1994Corinthians41(17)
1994–1996Palmeiras44(21)
1996–1997Deportivo La Coruña41(21)
1997–2002Barcelona157(86)
2002–2003Milan22(5)
2004Cruzeiro2(1)
2004–2007Olympiacos70(36)
2007–2008AEK Athens29(8)
2008–Bunyodkor50(30)
Tim nasional
1992-1993Brasil U-209(1)
1993–2003Brasil74(34)
Menariknya, tidak seperti kebanyakan bapak-bapak di Recife lainnya, Romildo Borreira sangat peduli dengan masa depan anaknya. Dia tidak ingin anaknya mengalami kehidupan yang sama tidak beruntungnya dengan dirinya. Dia kemudian mendidik dan mengarahkan anaknya agar mau menjadi pesepakbola. Sayangnya, saat anaknya belum benar-benar menjadi seorang pesepakbola, maut harus menjemput Romildo terlebih dahulu. Saat anaknya baru berusia 15 tahun, Romildo meninggal karena ditabrak oleh sebuah bus.

Meski begitu, keinginan Romildo itu ternyata terus dijaga oleh anaknya. Anak itu memang tidak sekolah seperti anak-anak miskin Recife lainnya, tetapi daripada melakukan hal yang tidak-tidak, anak itu setiap harinya justru memilih berjalan sepanjang 17 kilometer untuk berlatih sepakbola. Dia ingin sekali mewujudkan keinginan ayahnya. Dia harus bisa menjadi seorang pesepakbola.

Saat mengetahui keinginan anak itu, orang-orang yang berada di lingkungannya mungkin lebih senang menertawakannya daripada memberikan dukungan kepadanya. Pasalnya, anak itu kurus dan nyaris tidak bisa tumbuh karena kekurangan gizi. Selain itu, dia juga nyaris tak bergigi karena kekurangan nutrisi. Dengan keadaan seperti itu, bagaimana bisa dia menjadi pesepabola?

Kenyataannya, anak itu ternyata benar-benar bisa menjadi seorang pesepakbola. Bahkan, dia bukan hanya pesepakbola biasa saja. Rivaldo, nama anak itu, adalah pesepakbola yang hebat. Dia kemudian dikenal di seluruh penjuru dunia karena kehebatannya itu. Dan ketika banyak orang berbicara soal prestasi tertinggi yang pernah diraih para pesepakbola, nama Rivaldo setara dengan emas.

Setelah berhasil menjadi bintang saat tampil bersama Corinthians dan Palmeiras, Rivaldo yang saat itu baru berusia 22 tahun kemudian memulai petualangannya di Eropa. Dia memilih bergabung bersama Deportivo La Coruna, salah satu kontestan La Liga, divisi teratas sepakbola Spanyol. Tak membutuhkan waktu lama, Rivaldo ternyata langsung bisa unjuk kebolehan di klub barunya itu. Di musim pertamanya, La Liga musim 1996/97, Rivaldo berhasil mencetak 21 gol, berada di peringkat keempat top skorer La Liga pada musim itu. Selain itu, ia juga berhasil membawa La Coruna finis di peringkat ketiga, di bawah Real Madrid dan Barcelona.

Karena prestasinya itu, tantangan berat kemudian harus dihadapi oleh Rivaldo: Barcelona, raksasa Spanyol yang sedang tertidur, menginginkan jasanya. Saat itu, setelah berhasil meraih gelar La Liga empat kali secara beruntun, dari musim 1990/91 hingga musim 1993/94, Barcelona sudah tidak pernah lagi menyentuh gelar La Liga. Blaugrana, julukan Barcelona, masih dalam era transisi pasca kesuksesan Johan Cruijff, dan gelar Piala Winner dan gelar Copa Del Rey yang diraih Bobby Robson, pengganti Cruijff, pada musim 1996/97 tetap tak mampu menyelamatkannya dari pemecatan. 

Sadar bahwa Rivaldo membutuhkan tantangan seperti itu untuk berkembang, Rivaldo kemudian pindah ke Barcelona. Dia diharapkan menjadi bintang baru di Barcelona, setelah Ronaldo, bintang Barcelona sebelumnya, memilih pindah ke Italia untuk merumput bersama Inter Milan. Namun segalanya ternyata tidak berjalan dengan mudah bagi Rivaldo. Pasalnya, selain harus menghadapi tekanan lebih besar dari para pendukung Barcelona, Rivaldo juga harus berhadapan dengan Louis van Gaal, seorang pelatih asal Belanda yang begitu keras kepala.

Daripada memainkan Rivaldo sebagai pemain nomor 10, Louis van Gaal justru lebih senang memainkannya sebagai sayap kiri di dalam sistemnya. Pelatih asal Belanda tersebut menginginkan Rivaldo mampu memberikan dampak di posisi barunya itu. Meski tidak nyaman, pada dua musim pertamanya Rivaldo memilih mengikuti keinginan pelatihnya itu. Namun, dia tidak benar-benar mematuhinya. Sementara Louis van Gaal menginginkan agar dia senantiasa melakukan pergerakan di sisi lapangan, Rivaldo justru sering melakukan pergerakan diagonal ke tengah lapangan, berlagak seperti pemain nomor 10. Dia melewati pemain belakang lawan semaunya, membuat mereka tampak benar-benar bodoh, dan seperti tak mau berhenti mencetak gol.

Daripada memainkan Rivaldo sebagai pemain nomor 10, Louis van Gaal justru lebih senang memainkannya sebagai sayap kiri di dalam sistemnya

Apa yang dilakukan Rivaldo tersebut mungkin mengganggu Louis van Gaal. Tetapi karena dampaknya cukup bagus untuk tim, asal masih memulai pertandingan di sisi kiri lini serang Barcelona, Louis van Gaal membiarkan bintang baru Barcelona tersebut bertingkah semaunya. Bagaimana pun, karena kehebatan Rivaldo, Barcelona berhasil menjadi juara La Liga dua kali berturut-turut, musim 1997/98 dan 1998/99, di dua tahun pertama kepelatihan Louis van Gaal.

Selama dua musim tersebut, Rivaldo sendiri berhasil menjadi top skorer Barcelona. Di musim 1997/98, Rivaldo berhasil mecetak 19 gol, dan di musim 1998/99, dia berhasil mencetak 24 gol. Karena prestasinya tersebut, Rivaldo juga berhasil menggenggam gelar Ballon d'Or pada tahun 1999, sebuah gelar individu yang didambakan para pesepakbola profesional.

Segala hal yang berhasil dicapai Rivaldo tersebut kemudian mendorong keberaniannya untuk menanyakan sesuatu kepada Louis van Gaal. Dengan malu-malu, dia bertanya: "Apakah saya sudah boleh bermain di posisi nomor 10, posisi terbaik saya, pada musim depan?"

Karena kehebatan Rivaldo, Barcelona berhasil menjadi juara La Liga dua kali berturut-turut, musim 1997/98 dan 1998/99, di dua tahun pertama kepelatihan Louis van Gaal

Sayangnya, Rivaldo kemudian harus ditepikan karena pertanyaannya itu. Dia harus disingkarkan. Louis van Gaal merasa bahwa Rivaldo berani mengusik otoritasnya. Masalahnya, Van Gaal ternyata juga harus menerima dampak buruk karena perlakuannya itu: tanpa Rivaldo, Barcelona tampil gagap di setiap kompetisi yang diikutinya. Meski akhirnya mau berkompromi dengan kembali memainkan Rivaldo, apa yang dilakukan Van Gaal sudah terlambat. Barcelona mengakhiri musim 1999/2000 dengan tangan hampa. Mereka gagal di La Liga, Copa del Rey, dan Liga Champions Eropa.

Sementara Louis van Gaal harus angkat kaki karena capaian buruknya itu, di bawah asuhan Carles Rexach, pengganti Louis van Gaal, Rivaldo bisa kembali menjadi pilihan reguler Barcelona. Tidak hanya itu, dia juga bisa kembali bermain di posisi terbaiknya – sebagai pemain nomor 10. Dan dari posisi favoritnya itu, Rivaldo kemudian berhasil mencetak 36 gol untuk Barcelona di seluruh kompetisi, salah satu catatan terbaiknya di sepanjang kariernya.

Sayangnya, Rivaldo mengalami penurunan pada tahun kedua Rexach. Dia hanya mampu mencetak 8 gol di La Liga. Meski demikian, tiga gol terakhirnya di La Liga musim itu berhasil membuat Barcelona finis di urutan keempat dan bisa tampil di Liga Champions Eropa pada musim berikutnya. Dia adalah seorang pemain bintang. Dan sebagai seorang pemain bintang, dia masih bisa berbuat sesuatu di dalam kondisi buruk sekali pun.

Menariknya, kegagalan Barcelona meraih piala kemudian manajemen Barcelona mengambil keputusan mengejutkan. Bukan, bukan pemecatan Charles Rexach yang menjadi kejutannya – pemecatan Rexach masih dalam tahap wajar –, melainkan kembalinya Louis van Gaal ke Barcelona. Keputusan itu secara tidak langsung juga mengusir Rivaldo dari Camp Nou. Jika Louis van Gaal kembali, Rivaldo harus pergi. Dan pemain yang secara kesuluruhan sudah mencetak 109 gol untuk Barcelona itu benar-benar angkat kaki selepas mengantar Brasil meraih gelar Piala Dunia 2002.

Menikmati senja karier
Rivaldo kemudian memulai petualangan barunya di Italia, bermain bersama AC Milan pada musim 2002/03. Saat itu, meski dia masih berusia 30 tahun dan baru saja menjadi salah satu bintang Brasil di Piala Dunia, tak sedikit orang yang mengira bahwa sihir Rivaldo benar-benar sudah habis. Sepakbola Italia mengedepankan taktik, sementara Rivaldo bukan orang yang cocok untuk bermain dalam sistem tertentu. Untuk membuatnya tampil hebat, dia harus diberikan kebebasan.

Asumsi orang-orang itu tak benar tapi juga tak salah. Dalam skema pohon natal, 4-3-2-1, yang diterpakan oleh Carlo Ancelotti, pelatih Milan, Rivaldo masih mampu memberikan dampak. Bersama Rui Costa, dia adalah pemain kreatif berbahaya yang dimiliki Milan. Namun setelah Silvio Berlusconi, presiden Milan, menginginkan timnya bermain dengan dua orang penyerang dan dia lebih sering cedera, bangku cadangan kemudian menjadi salah satu tempat favoritnya.

Menariknya, dari sinilah sebetulnya orang-orang bisa belajar dari Rivaldo. Alasan mengapa dia layak untuk dicintai sebagai pemain sepakbola juga bisa dimulai dari perjalanannya dalam menikmati penurunan kariernya: Rivaldo ternyata masih tetap mempunyai hasrat kuat untuk bermain sepakbola. Setelah didepak AC Milan pada tahun 2004, Rivaldo masih terus bermain hingga tahun 2015 lalu, hingga dia menginjak usia 43 tahun.

Ia sempat kembali ke Brasil, pergi ke Yunani untuk bermain bersama Olympiacos, menjajal sepakbola Uzbekistan, Dan menutup karier sepakbolanya bersama Mogi Mirim, salah klub asal Brasil. Dan di klub terakhirnya itu, dia bahkan sempat bermain bersama anaknya, Rivaldinho. Tidak hanya bermain bersama, bapak dan anak itu juga pernah sama-sama mencetak gol untuk Mogi Mirim dalam sebuah pertandingan.

Prestasi

Klub
Palmeiras
Brazilian Série A (1): 1994
Campeonato Paulista (2): 1994, 1996

Barcelona
UEFA Super Cup (1): 1997
Spanish La Liga (2): 1998, 1999
Copa del Rey (1): 1998
Copa Catalunya (1): 1999-00

A.C. Milan
UEFA Champions League (1): 2003
Coppa Italia (1): 2003
UEFA Super Cup (1): 2003

Cruzeiro
Campeonato Mineiro (1): 2004

Olympiacos
Greek Super League (3): 2005, 2006, 2007
Greek Cup (2): 2005, 2006

Bunyodkor
Uzbek League (3): 2008, 2009, 2010
Uzbekistani Cup (2): 2008, 2010

Brazil
Confederations Cup (1): 1997
Copa América (1): 1999
FIFA World Cup (1): 2002


Individu
Brazilian Football Museum Hall of Fame
Brazilian Bola de Prata: 1993, 1994
FIFA World Cup All-Star Team: 1998, 2002
ESM Team of the Year: 1998–99, 1999–2000
World Soccer Player of the Year: 1999
Onze d'Or: 1999
Ballon d'Or: 1999
FIFA World Player of the Year: 1999
Copa América 1999 Top Scorer
Copa América 1999 Most Valuable Player
Spanish League Footballer of the Year: 1999
UEFA Champions League Top Scorer: 2000
IFFHS World's Top Goal Scorer of the Year 2000
FIFA World Player of the Year: Bronze award 2000
FIFA World Cup Silver Boot: 2002
FIFA 100
Greek Championship best foreign player: 2006, 2007
Uzbek League 2009 Top Scorer

sumber : wikipedia, google